Belakangan ini publik ramai membicarakan mengenai kasus penembakan seorang Brigadir Polisi. Hal tersebut dapat dilihat dengan unggahan di media massa dan media sosial seperti tiktok, Instagram, twitter dan facebook yang terus mengalir setiap harinya selama sebulan ini. Penyidikan oleh Polri terus dilakukan dengan ditetapkannya salah satu tersangka yaitu seorang Bharada, yang ternyata adalah rekan sejawat dari korban. Polri menetapakan Bharada tersebut sebagai tersangka karena diduga melakukan tindak pidana Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait dengan “pembunuhan” jo Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP terkait dengan “ turut serta dalam perbuatan kejahatan”.
Kemudian tidak berapa lama setelah ditetapkan Bharada tersebut sebagai tersangka dan sekaligus saksi dalam kasus ini, melalui penasihat hukumnya mengajukan diri untuk meminta jaminan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), mengingat perlindungan tersebut akan disusul dengan pengajuan diri sebagai saksi kunci pelaku atau yang biasa dikenal dengan Jusitice Collaborator (JC). Sederhannya, JC merupakan pelaku tindak pidana yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum dalam memberikan pernyataan dan keterangan secara eksklusif terhadap kasus yang dialaminya untuk membongkar kasus tindak pidana tertentu yang terorganisir dan menimbulkan ancaman serius dengan imbalan keringanan hukuman berdasarkan pertimbangan hakim.
Tentunya yang menjadi pertanyaan menarik adalah apakah dalam peristiwa tindak pidana umum/biasa seperti pembunuhan dapat dimungkinkan diterapkannya justice collaborator? Jika dilihat di satu sisi berdasarkan praktik selama ini, pemberian JC hanya terbatas pada peristiwa pidana yang bersifat luar biasa (extraordinary crime) seperti korupsi, terorisme, narkotika, pelanggaran HAM berat dan berbagai kejahatan terorganisir lainnya. Namun tidak dipungkiri di lain sisi, kejahatan dalam kasus ini termasuk kejahatan yang biasa, tetapi secara operasional terdapat dugaan yang kuat bahwa peristiwa pidana ini dilakukan secara tersistematik dan terorganisasi yang diduga melibatkan beberapa aktor (oknum) penegak hukum.
Apa itu Justice Collaborator ?
Justice collaborator pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an. Dimasukkanyan doktrin tentang justice collaborator di Amerika Serikat sebagai salah satu norma hukum di negara tersebut dengan alasan perilaku mafia yang selalu tutup mulut atau dikenal dengan istilah omerta sumpah tutup mulut . Oleh sebab itu, bagi mafia yang mau memberikan informasi, diberikanlah fasilitas justice collaborator berupa perlindungan hukum. Kemudian terminology justice collaborator berkembang pada tahun selanjutnya di beberapa negara, seperti di Italia (1979), Portugal (1980), Spanyol (1981), Prancis (1986), dan Jerman (1989). Salah satu praktik justice collaborator ialah bermula dari kasus Josep Valencia yang merupakan salah satu anggota mafia Italia yang meminta jaminan perlindungan kepada Kongres sehubungan dengan kesediaan dirinya untuk bekerja sama dengan penegak hukum dengan tujuan membongkar setiap kejahatan yang dilakukannya. Alhasil, melalui kesaksiannya pengadilan menemukan berbagai kerja sama kotor yang melibatkan pejabat penegak hukum bersama dengan petinggi mafia bernama Vito Genovese, yang berujung pada reformasi total aparat penegakan hukum di Amerika Serikat. Sedangkan Di Indonesia sendiri, praktik Justice Collaborator sempat diterapkan dalam beberapa kasus seperti kasus Vincentius Amin Sutanto, Agus Condro Prayitno, Yohanes Waworuntu, Susno Duadji, dan Endin Wahyudin
Dalam perkembangannya, pada konvensi Anti Korupsi (United Nation Convention Against Corruption – UNCAC ) dilakukan sebagai upaya untuk menekan angka korupsi secara global. Dengan adanya kerjasama internasional untuk menghapuskan korupsi di dunia, maka nilai-nilai pemberantasan korupsi didorong untuk disepakati oleh banyak negara. Salah satu hal yang diatur di dalam konvensi UNCAC, pada ketentuan Pasal 37 ayat (2) dan (3) adalah penanganan kasus khusus bagi pelaku tindak pidana korupsi yang ingin bekerjasama dengan aparat penegak hukum. Kerjasama tersebut di atas ditujukan untuk mengusut pelaku lain pada kasus yang melibatkan si pelaku. Kemudian kerjasama antara pelaku dengan penegak hukum dikenal dengan istilah Justice Collaborator. Konvensi UNCAC telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).
Ketentuan Peraturan Hukum Justice Collaborator di Indonesia
Dalam hukum nasional di Indonesia, Justice collaborator (JC) diatur dalam :
- Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
- Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 (perubahan atas UU Nomor 13 tahun 2006) tentang
Perlindungan Saksi dan Korban - Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04 tahun 2011,
- Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Sumber hukum yang disebutkan di atas masih belum memberikan pengaturan yang proporsional, sehingga keberadaan Justice collaborator bisa direspon secara berbeda oleh penegak hukum. Contohnya saja terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Wistleblowers) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Lahirnya SEMA di atas didasarkan pada pertimbangan: bahwa dalam tindak pidana tertentu yang serius seperti teroris, korupsi, narkotika, pencucian uang, tindak pidana perdagangan orang, telah menimbulkan gangguan yang serius pada masyarakat, sehingga perlu ada perlakuan khusus kepada setiap orang yang melaporkan, mengetahui atau menemukan suatu tindak pidana yang membantu penegak hukum dalam mengungkapnya. Oleh sebab itu, untuk mengatasi tindak pidana tersebut di atas, para pihak yang terlibat dalam tindak pidana tersebut perlu mendapatkan perlindungan hukum dan perlakuan khusus
Selanjutnya, dalam SEMA No.4 Tahun 2011 diberikan pedoman kepada hakim dalam menjatuhkan pidana kepada justice collaborator dengan beberapa kriteria:
Yang bersangkutan merupakan pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatannya, bukan pelaku utama dan memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara tersebut;
Jaksa Penuntut Umum telah menjelaskan dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan sehingga dapat mengungkap tindak pidana dimaksud.
Dalam konteks di atas, hakim yang memeriksa perkara diminta untuk menjatuhkan putusan:
Pidana percobaan bersyarat dan atau;
Pidana penjara yang paling ringan dengan mempertimbangkan keadilan dalam masyarakat.
Meskipun dalam SEMA sudah diatur dan sudah dijadikan panduan bagi hakim-hakim di lingkungan peradilan di Indonesia, namun SEMA tersebut tidak bisa mengikat jaksa maupun bagi penyidik. SEMA di atas hanyalah aturan internal di lingkungan peradilan, sehingga tidak memiliki otoritas yang kuat dalam memastikan bahwa justice collaborator mendapatkan perlakuan khusus.
Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban juga tidak memberikan jaminan perlindungan terhadap justice collaborator. Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga tidak mengatur posisi justice collaborator secara tuntas. Dengan demikian norma pada hukum positif kita tidak memberikan tempat yang layak pada justice collaborator. Oleh sebab itu, perlu untuk mencari terobosan hukum dalam memberikan perlindungan kepada justice collaborator.Kemudian Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyadari bahwaJustice Collaborator sangat penting, oleh karena itu pemerintah dan DPR akhirnya mengubah UU No 13 Tahun 2006 dengan UU No 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Dalam beleid itu khususnya pasla 10 ayat (1) dan ayat (2) ditentukan : “Saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.”.“Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” Selain itu Justice Collaborator mendapatkan penanganan secara khusus berupa:tersangka, terdakwa, dan/atau narapaidana yang diungkap tindak pidananya; Pemisahan pemeriksaan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya dan/atau: Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.
Sementara penghargaan yang diterima oleh justice collaborator adalah: Keringanan penjatuhan pidana; atau Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-unndangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana. Berdasarkan praktiknya selama ini, justice collaborator sendiri dinilai sangat berguna secara signifikan dalam menuntaskan berbagai kejahatan luar biasa yang terorganisasi, seperti dalam kasus korupsi yang berorientasi terhadap pemulihan kerugian keuangan negara. Namun demikian, praktiknya, penggunaan justice collaborator hanya terbatas pada kejahatan tertentu sebagaimana yang ditentukan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2011, yaitu tindak pidana tertentu yang tergolong serius dan mengancam stabilitas dan keamanan negara.
Peran Justice Collaborator dalam Tindak Pidana
Salah satu peran justice collaborator untuk dapat membuat suatu peristiwa pidana yang tadinya gelap gulita menjadi terang benderang. Sesorang yang diduga sebagai pelaku dan sekaligus saksi dianggap perlu mendapatkan pertimbangan perlindungan secara khusus termasuk perlakuan khusus. Konon lagi kasus tersebut termasuk dalam klasifikasi penyertaan dimana ada keterlibatan orang lain dalam peristiwa pidana tersebut. Keterangan dari seorang pelaku dapat dijadikan temuan sebagai saksi bagi pelaku lainnya. Peran dan fungsi LPSK menjadi pondasi atas harapan yang pasti dalam penjelasan UU No.31 tahun 2014 menyatakan “tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan atau korban dihadapakan kepada situasi yang sangat membahayakan jiwanya. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan apapun bentuk kejahatannya termasuk tindak pidana pembunuhan, apabila di situasi yang dinilai LPSK membahayakan jiwanya maka perlindungan khusus seharusnya dapat diberikan.
Sumber :
- Undang-Undang No.7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003 ( Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi,2003)
- Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
- Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 (perubahan atas UU Nomor 13 tahun 2006) tentang
Perlindungan Saksi dan Korban - Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04 tahun 2011,
- Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Penulis :
Theresa Yolanda Sirait, S.H