Pada awal tahun 2022 kita mendapatkan kejutan bahwasanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menangkap salah satu aparat penegak hukum di lingkungan peradilan yaitu Hakim dan Panitera Pengadilan Negeri Surabaya dan seorang advokat. Panitera Pengganti yang bernama Hamdan tertangkap tangan menerima suap sejumlah Rp.140 juta rupiah yang diberikan oleh Advokat yang bernama Hendro Kasiono.
Berdasarkan konferensi Pers dijelaskan Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango bahwa Hendro Kasiono diduga memiliki kesepakatan dengan perwakilan salah satu perusahaan swasta yaitu PT SGP untuk memberikan uang kepada Hakim yang menangani perkara PT SGP. Nominal uang yang disiapkan untuk mengurus perkara ini diduga berjumlah sekitar Rp1,3 miliar dimulai dari tingkat putusan Pengadilan Negeri sampai tingkat putusan Mahkamah Agung.
Terbongkarnya kasus korupsi di lingkungan peradilan, sudah menambah daftar panjang nama hakim yang tertangkap melakukan korupsi. Kondisi praktik korupsi di pengadilan merupakan fenomena nyata yang masih terus terjadi. Berdasarkan data ICW dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2019 di era kepemimpinan Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali terdapat 20 hakim yang terjerat kasus korupsi. Dengan tertangkapnya Hakim Itong menjadi daftar pertama hakim terjerat korupsi di era kepemimpinan Muhammad Syarifuddin sebagai Ketua MA sejak April 2020. Catatan kelam ini juga menunjukan bahwa upaya untuk membersihkan mafia peradilan masih panjang. Padahal,Mahkamah Agung (MA) sedang berupaya mati-matian untuk membangun kepercayaan publik selama beberapa tahun terakhir.
Survei Global Barometer 2020 menempatkan pengadilan sebagai institusi kelima terkorup setelah Parlemen, Pejabat Pemerintah Daerah dan Pejabat Pemerintahan dan Kepolisian. Berdasarkan survei tersebut, sebanyak 51 persen responden mempersepsikan DPR sebagai lembaga terkorup disusul pejabat pemerintah daerah (48 persen) dan pejabat pemerintahan (45 persen). Insititusi lain yang dianggap korup ialah polisi (33 persen), hakim/pengadilan (24 persen). Sebanyak 86% responden menyatakan masifnya korupsi di pengadilan. Survei yang dilakukan Transparency International (TI) tersebut memberi penilaian rendah untuk pengadilan Indonesia. Nilai 4.4, dengan 5 sebagai nilai terburuk, diberikan kepada pengadilan berdasarkan survei korupsi di seluruh negara tersebut.Berdasarkan survei tersebut, 66% responden mengaku pernah menyuap petugas pengadilan.

Transparency International Indonesia (TII) menyebut Indonesia berada di peringkat tiga teratas di bawah Kamboja dan India terkait tingkat suap pelayanan publik di negara Asia. Dari sisi penyuapan, polisi paling tinggi dibandingkan lembaga lain, kalau dari penggunaan koneksi personal lembaga peradilan lebih tinggi dari pelayanan publik lainnya.
Ironisnya, Hakim dan Panitera yang seharusnya menjadi pilar utama dalam menyangga supremasi hukum pemberantasan korupsi dan menjadi contoh warga negara yang taat hukum dan tidak melakukan tindak pidana korupsi malahan terlibat sebagai aktor di dalamnya.
Pemberantasan korupsi seyogyanya dimulai dari aparat penegak hukum itu sendiri, nuansa pepatah menyatakan “as long as the dirty broom is not cleaned everything talk about the law is empty ” (sepanjang sapu kotor kita belum bersihkan, maka semua pembicaraan mengenai hukum akan omong kosong belaka ) . Pengadilan merupakan salah satu institusi yang menjadi sasaran reformasi. Reformasi pengadilan bertujuan untuk menciptakan lembaga yang merdeka, adil, profesional, berintegritas tinggi, dan bebas dari korupsi bagi para pencari keadilan.

CELAH KORUPSI PERADILAN
Maraknya korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum peradilan menimbulkan keresahan dan rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi yang dianggap bersih tersebut. Tak heran jika masyarakat sudah kebal mendengar adanya aparat penegak hukum yang terjerat korupsi. Tentunya, menjadi pertanyaan besar, Mengapa dan Kenapa perbuatan tersebut terjadi berulang-ulang? Beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya korupsi di lembaga peradilan.
Pertama, adanya pergeseran fungsi kasasi di MA. Idealnya, MA sebagai pengadil upaya kasasi tidak memutus berat ringannya hukuman terhadap kasus pidana atau pidana korupsi. Fungsi kasasi sejatinya hanya menilai tepat atau tidaknya penerapan hukum judect factie oleh pengadilan tingkat pertama dan banding. Praktiknya, MA seperti menjadi pengadilan tinggi kedua memutus berat ringannya hukuman untuk kasus pidana dan kasus korupsi. MA bisa menaikan atau menurunkan hukuman. Pergeseran ini menjadi celah korupsi. Jika MA melakukan fungsi kasasi secara ideal, maka akan meminimalisir celah terjadinya korupsi.
Kedua, proses birokrasi penanganan perkara yang panjang. Meski MA kini telah membuat terobosan  dengan mengefektifkan dan mengefisienkan proses penanganan perkara dengan memusatkan pada kepaniteraan, berbeda dengan sebelumnya. Sebelumnya, format putusan MA sedemikian tebal dan panjang yang hanya mengulang-ngulang surat dakwaan, tuntutan. Padahal, pertimbangan hukum putusan tidak banyak. Tapi kini, MA membuat kebijakan supaya format putusan menjadi lebih efektif dan efisien. Jika penanganan berkas perkara yang sedemikian panjang dan ribet akan menjadi membuka celah terjadinya praktik korupsi.

Ketiga, organisasi peradilan satu atap yang sentralistis dan akuntabilitasnya cukup lemah. Sejak beberapa tahun terakhir, MA sudah menganut sistem satu atap, sehingga semua kebijakan terkait teknis peradilan, administrasi hingga finansial berada di bawah MA. Banyak pihak yang berharap agar MA bisa menjaga akuntabilitas dan transparansinya. Mahkamah Agung punya Badan Pengawasan sebagai pengawas internal. Sebenarnya MA sudah meluncurkan aplikasi SIWAS yang dinyatakan mampu menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat secara online, secara besar-besaran pada September 2016. Namun pada kenyataannya aplikasi ini jauh dari efektif sebagaimana telah dicoba oleh koalisi dalam beberapa kesempatan. Sistem pengawasan internal oleh Badan Pengawasan (Bawas) tak mampu menjangkau semua satuan kerja (satker). Tak hanya itu, Bawas tak hanya mengawasi satker dan aparaturnya termasuk termasuk pengelolaan keuangan, tapi juga mengawasi ribuan hakim di seluruh Indonesia dalam penanganan perkara Sebaiknya, MA membuka diri untuk bekerja sama dengan lembaga lain yang memiliki  kewenangan mencegah dan memberantas korupsi. Pemerintah pun bertanggung jawab terhadap reformasi peradilan dan berupaya mengintegrasikan lembaga penegak hukum.

REFORMASI PERADILAN

Perbaikan di sektor peradilan tidak hanya berkisar pada sistem dan produk kebijakan tetapi juga harus dipastikan agar ketentuan tersebut bisa dimplementasikan. Selain itu, reformasi peradilan secara menyeluruh tidak akan berjalan jika pimpinan dan struktur MA masih diisi oleh individu-individu yang integritasnya diragukan.

Pertama, Evaluasi menyeluruh terhadap para pejabat struktural, mulai dari tingkat Pengadilan Negeri hingga MA. Tidak terkecuali evaluasi terhadap pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 tahun 2016. Evaluasi bisa dilakukan dengan cara melakukan evaluasi terhadap Ketua Pengadilan Negeri atau Banding untuk memastikan integritas, kualitas, dan kemampuan yang bersangkutan dalam melaksanakan Peraturan Mahkamah Agung tersebut. Kedua, menerapkan dengan tegas dan konsisten, Maklumat Ketua Mahkamah Agung Nomor 01/Maklumat/KMA/XI/2017 tentang Pengawasan dan Pembinaan Hakim, Aparatur Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya, terhadap oknum-oknum Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang diduga terlibat dalam perkara pidana, khususnya korupsi. Ketiga, bersama KPK dan KY melakukan pemetaan terhadap ruang potensi terjadinya korupsi di lembaga pengadilan. Pemetaan dilakukan agar dapat dijadikan rujukan pembentukan kebijakan pembinaan dan pengawasan. Terakhir, keseriusan dan komitmen Mahkamah Agung dalam melaksanakan pengawasan internal. Perlunya dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang tentang Mahkamah Agung yang dapat mengakomodir mengenai pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan dan perilaku hakim, agar memiliki landasan yang kuat dalam penegakan hukumnya. Bahkan pengawasan terhadap perilaku hakim membutuhkan penambahan personil pada tingkat daerah khususnya pengadilan tingkat pertama, tidak hanya sekedar pengawasan yang diserahkan kepada pengadilan tingkat banding, serta membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk ikut melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan dan perilaku hakim.
Tentunya untuk merealisasikan reformasi hukum tersebut, kami dari M81 & Partners sebagai kantor hukum bagian dari problem change penegakan hukum berkomitemen mendukung sepenuhnya dalam reformasi peradilan. Hal tersebut sesuai dengan visi dan misi dari M81 & Partner : Ikut berkomitemen dalam penegakan hukum serta berpartisipasi dalam pembangunan hukum dengan upaya memberikan program peningkatan pengetahuan dan budaya tertib hukum dalam masyarakat.

Penulis : Theresa Yolanda Sirait, S.H

PERATURAN TERKAIT
Peraturan Mahkamah Agung di bidang pengawasan
Perma Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya,
Keputusan Bersama Mahkamah Agung & Ketua Komisi Yudisial RI No.047/KMA/SKB/IV/2009 02/SKB.P.KY/IV.2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

SUMBER :
https://www.transparency.org/gcb2013/results
https://ti.or.id/wp-content/uploads/2022/01/CPI2021INDOTIIWS.pdf

Leave a Reply